Kapolri Keluarkan Surat Edaran soal Penanganan Perkara UU ITE

- 23 Februari 2021, 13:20 WIB
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menandatangani Surat Edaran: SE/2/11/2021 pada Jumat, 19 Februari 2021.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menandatangani Surat Edaran: SE/2/11/2021 pada Jumat, 19 Februari 2021. /Polres Magelang

Jurnal Makassar - Beberapa hari ini, publik meramaikan pembahasan UU ITE, baik itu pembahasan merevisi maupun mencabut UU ITE tersebut.

Untuk itu, Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran terkait penerapan UU ITE.

Surat Edaran Nomor SE/2/11/201 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu ditandatangani Kapolri pada 19 Februari 2021.

Baca Juga: Pemkot Makassar Perpanjang Jam Malam Hingga 9 Maret

Surat edaran tersebut dikelurkan karena UU ITE dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan kepolisan berkomitmen untuk menerapkan penegakan hukum yang manusiawi yang berkeadilan.

"Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakkan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," kata Kapolri melalui surat edaran tersebut, dikutip Jurnalmakassar.com dari Antara Selasa, 23 Februari 2021.

Baca Juga: Aurel Hermansyah Drop Ditanya Nasib Pernikahannya, Diundur atau Tidak? Atta Halilintar ke GBK

Berikut 11 poin surat edaran yang dikeluarkan oleh jajaran Polri, yaitu:

1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya;

2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalah dan dampak yang terjadi di masyarakat;

3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber;

4. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil;

Baca Juga: Terkait Potensi Banjir di Sulsel, Nurdin Abdullah Imbau Masyarakat untuk Waspada

5. Sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.

6. Melakukan kajian dan gelar prakara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim atau Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolögial berdasarkan fakta dan data yang ada;

7. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakkan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara;

8. Terhadap para pihak dan atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice, kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), radikalisme, dan separatisme;

Baca Juga: Daftar 11 Kepala Daerah di Sulsel yang Dilantik 26 Februari

9. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan pengadilan namun tersangkanya telah meminta maaf, maka terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali;

10. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan;

11. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.***

Editor: Irsal Masudi

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x