Mengenal Fenomena Psikologis Stockholm Syndrome dalam Serial Money Heist (2017)

15 Februari 2021, 10:00 WIB
Perampok Money Heist saat Beraksi di Bank Spanyol. /Instagram/@Money Heist

Jurnal Makassar – Kisah delapan pencuri melakukan penyanderaan dan mengunci diri di Badan Percetakan Uang Spanyol pernah menyita perhatian para pecinta serial.

Berjudul Money Heist, serial bergenre thriller ini dikreatori oleh Alex Pina. Money Heist lansung melejit saat masuk ke dalam daftar serial televisi Netflix.

Premis dari serial ini adalah perampokan. Namun bukan sebuah perampokan biasa.

 Baca Juga: Fiki Naki, YouTuber 3,3 Juta Pengikut karena Kuasai Bahasa Asing

Di bawah instruksi Sergio Marquina, kode namanya El Professor. Delapan perampok itu berencana mencetak sendiri uangnya senilai 2,4 juta euro.

Mereka melancarkan aksinya dengan menyandera 67 orang. Salah satunya adalah Monica Gaztambide. Sekretaris percetakan di tempat itu.

Monica Gaztambide adalah sandera yang hamil. Berniat menggugurkan janinnya saat mengetahui Arturito-- yang juga seorang sandera, tidak mau bertanggung jawab.

 Baca Juga: Ungkapan Kasih Sayang Dul Jaelani ke Tissa Biani Bikin Kaum Hawa Iri

Upaya Monica berhasil digagalkan oleh salah satu perampok bernama Denver yang bertugas mengurusi keperluan para sandera, termasuk obat-obatan.

Bermula dari sini, Denver dan Monica mulai intens berinteraksi. Hingga Monica yang awalnya ketakutan karena sempat ditembak, berubah menjadi patuh dan mencintai Denver.

Apa yang terjadi pada Monica, dalam dunia psikologis dikenal sebagai fenomena Stockholm Syndrome.

 Baca Juga: Rencana Kemendag Terapkan SNI Gula Konsumsi, IKAGI: Akan Berdampak Munculnya Isu Krusial

Sebuah fenomena psikologis yang berangkat dari kisah nyata. 47 tahun lalu, kasus serupa pernah terjadi.

Perampokan salah satu bank di Swedia, Sveriges Kredit Bank pada tahun 1973. Perampok Jan- Erik Olsson dan Clark Olofssoon bersenjata menyandera para karyawan bank selama lima hari.

Ketika berhasil dibebaskan, para sandera justru membela penyanderanya. Secara emosional mereka jadi menyayangi perampoknya.

Baca Juga: Bantai Tottenham Hotspur 3-0, Manchester City Kokoh di Puncak Klasemen Liga Inggris

Graham, Rawlings dan Rigsby dalam buku "Loving to Survive: Sexual Terror, Men’s Violence, and Women’s Lives" yang terbit pada 1994 mengemukakan bahwa Stockholm  syndrome tidak akan terjadi  tanpa adanya distorsi kognitif dalam diri korban.

Lebih lanjut Graham bersama rekan-rekannya, mengungkapkan, setidaknya ada empat kondisi yang bisa memicu respon psikologis yang mengarah kepada Stokcholm Syndrome.

Kondisi pertama adalah karena adanya ancaman, baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pelaku.

Baca Juga: Trauma Healing Kurangi Stres Anak-anak Korban Gempa Sulbar

Kondisi kedua, pelaku melarang korban untuk berhubungan dengan orang lain di sekitarnya. Kondisi ketiga, pelaku tidak membiarkan korban untuk melarikan diri.

Kondisi keempat, pelaku menunjukkan perilaku yang baik kepada korban dalam bentuk apapun. 

Keempat kondisi inilah yang memengaruhi mental korban. Membuatnya sulit melepaskan diri dari pelaku. Dan akhirnya mengalami Stockholm Syndrome. ***

Editor: Miftahul Aulia

Tags

Terkini

Terpopuler