Rencana Kemendag Terapkan SNI Gula Konsumsi, IKAGI: Akan Berdampak Munculnya Isu Krusial

- 14 Februari 2021, 16:18 WIB
Caption foto: Seorang Karyawan PG Bone Sulawesi Selatan menutup hasil produksi gula menggunakan mesin.
Caption foto: Seorang Karyawan PG Bone Sulawesi Selatan menutup hasil produksi gula menggunakan mesin. /IST/JurnalMakassar/Aas

Jurnal Makassar - Rencana Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag) untuk menerapkan SNI gula konsumsi direspons organisasi Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI).

Rencana penerapan kebijakan baru ini akan berdampak munculnya isu krusial. Salah satunya, perubahan ICUMSA dari maksimal 300 IU menjadi 200 IU. Selain itu juga penyatuan SNI Gula Kristal Putih (GKP) Gula Kristal Rafinasi (GKR).

Menurut IKAGI isu ini menjadi tantangan besar bagi beberapa Pabrik Gula (PG) yang sebagian masih menerapkan proses sulfitasi.

Baca Juga: Trauma Healing Kurangi Stres Anak-anak Korban Gempa Sulbar

Tak hanya itu, juga memerlukan investasi untuk meningkatkan kinerja pengolahan.

IKAGI juga memprediksi perlu peningkatan kapabilitas SDM pabrik gula nantinya. Mitigasi risiko terus digalakkan oleh semua stekholder.

Perhatian serius potensi kekayaan ekonomis pemberlakuan satu SNI GKP dan GKR bagi keberlangsungan industri gula nasional berbasis tebu.

Baca Juga: Empat Bulan Berlalu, Begini Kabar Terbaru 3 Bocah Hilang di Langkat 2021

"Tantangan semakin berat karena akan ada penyatuan pasar GKP dan GKR," ungkap Sekjen IKAGI Wilayah Timur Indonesia, Wardi Samad, 14 Februari 2021.

Ia menambahkan beberapa pabrik yang menggunakan proses sulfitasi yang muara produksinya berupa Gula Rafinasi. Pabrik Gula berlabel BUMN didominasi pabrik dengan proses sulfitasi.

"Mayoritas Pabrik Gula BUMN adalah pabrik yang menggunakan proses sulfitasi. Hanya PTPN XII dan PG Glenmore yang pabrik baru menggunakan proses defekasi karbonatasi," kata Wardi.

Baca Juga: Delapan Rekomendasi Film Rayakan Valentine di Masa Pandemi Virus Corona

"Sehingga bisa memproduksi gula rafinasi (ICUMSA/warna gula bisa di bawa 100 IU), di PTPN XI ada pabrik lama yang juga sudah diubah ke proses karbonatasi, yakni PG Semboro," tambahnya.

Polemik konsumen GKR dan GKP menjadi perhatian utama. Dominasi pasar yang tidak seimbang jadi persoalan serius bagi pabrik gula menggunakan proses sulfitasi. Namun, GKR dan GKP bakal akan disatukan.

"Kalau pasar disatukan, maka mayoritas gula rafinasi diproduksi oleh pabrik gula proses karbonatasi. Mayoritas GKR dimiliki pabrik gula swasta. Akan lebih berpeluang mendominasi pasar Gula Kristal Putih (GKP) yang mayoritas pabrik gula BUMN yang menggunakan proses sulfitasi," jelasnya.

Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Angkat Bicara Terkait Tuduhan Radikal Terhadap Din Syamsuddin

Wardi juga mengungkapkan, GKP cukup berat masuk pasar GKR, karena pelaku industri lebih membutuhkan GKR.

"Gula Kristal Putih (GKP) cukup berat masuk ke pasar Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang dominan dibutuhkan industri makanan minuman"

Notabene pasar industri tersebut dimiliki juga oleh pabrik gula swasta, karena BUMN cenderung tidak punya industri makanan minuman," lanjutnya.

Baca Juga: Pemecatan Guru Honorer di Bone Jangan Terulang, Perlu Regulasi Lindungi Honorer

Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Nasional (P3GI), Triantarti mengatakan dalam mencapai standar 200 IU secara stabil sampai ke pasar konsumsi diperlukan perubahan dari proses sulfitasi.

Hal tersebut menjadi proses yang paling sederhana untuk menghasilkan gula konsumsi yang lebih kompleks. Untuk menghasilkan kualitas gula yang lebih baik. Biaya investasi perubahan proses sekitar Rp 200-300 Miliar.

"Kompleksitas permasalahan pabrik gula di Jawa untuk mencapai kualitas tebu yang baik adalah salah satu faktor sulitnya mencapai standar kualitas gula maksimum 200 IU secara stabil dengan proses sulfitasi," ujar Triantarti.

Baca Juga: Galang Dana untuk Istri dan Anak Ustaz Maheer, Ustaz Yusuf Mansur Kumpul Rp1,2 Miliar

Lebih lanjut, jumlah tebu yang semakin menurun dan sudah tidak berimbang dengan kapasitas giling PG di Jawa menambah kompleksnya permasalahan untuk dapat menjalankan proses di PG secara optimal.

"Industri gula di Jawa berkontribusi 55,4 % terhadap produksi gula nasional. Kebijakan perubahan standar ataupun penyatuan pasar memerlukan kajian dan arah kebijakan yang jelas," terangnya. ***

Editor: St. Aas Mahari Basri


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah