Kabar Buruk, Ini Kelemahan Orang yang Memiliki Otak Cerdas: Gangguan Mental Hingga Autisme

- 1 Agustus 2022, 09:59 WIB
Ilustrasi. Kelemahan Orang yang Memiliki Otak Cerdas: Gangguan Mental Hingga Autisme
Ilustrasi. Kelemahan Orang yang Memiliki Otak Cerdas: Gangguan Mental Hingga Autisme /Pixabay/geralt

Jurnal Makassar – Menjadi orang cerdas tentu sangat menguntungkan untuk menyelesaikan suatu perkara apalagi IQ nya jauh diatas rata-rata.

Dilansir dari Scientific American, orang dengan IQ diatas rata-rata biasanya akan cenderung memiliki kesuksesan berhasil sejak di bangku sekolah hingga lingkup kerja.

Para ahli juga mengatakan bahwa hidup mereka yang memiliki otak cerdas cenderung hidup lebih lama, hidupnya sehat, dan lebih kecil kemungkinan tidak akan mengalami kebangkrutan dalam hidup, meskipun penjelasan para ahli ini belum dapat menyebutkan kaitan khususnya.

Baca Juga: Keutamaan Puasa Tasu'a dan Asyura yang Dikerjakan pada 9 dan 10 Muharram

Sangat disayangkan ternyata para ahli juga menyebutkan kekurangan dari orang yang memiliki otak cerdas.

Masih dalam sumber yang sama, hasil penelitian yang baru diterbitkan dalam jurnal Intelligence menjelaskan kelemahan yang dimiliki oleh orang yang berotak cerdas.

Ruth Karpinski dan rekan-rekannya, ilmuwan Pitzer College melakukan penelitian soal plus minus yang dimiliki oleh orang dengan IQ jauh diatas rata-rata.

Mereka mendapatkan hasil survei dengan mengirimkan pertanyaan-pertanyan terkait gangguan psikologis dan fisiologis lewat email kepada komunitas bernama Mensa.

Komunitas Mensa merupakan kumpulan masyarakat dengan IQ diatas rata-rata 2 persen. Mereka harus menjalani tes IQ dengan hasil diatas 132. Sebagai catatan, rata-rata orang Amerika memiliki IQ di ambang 100 saja.

Dari hasil survey di komunitas Mensa, para peneliti menemukan kemungkinan mereka yang berotak cerdas memiliki gangguan psikologis dengan berbagai kriteria.

Gangguan psikologis ini beragam mulai dari mood disorders (depresi dan bipolar), anxiety disorders, gangguan hiperaktivitas defisit perhatian hingga autisme.

Tidak hanya itu, gangguan tersebut juga mencakup alergi lingkungan, asma dan gangguan autoimun.

Ruth Karpinski dan rekan-rekannya, menelaah lebih jauh dan menemukan bahwa orang yang berotak cerdas berkaitan dengan psychological overexcitabilities atau OEs. Konsep ini diperkenalkan oleh ahli jiwa asal Polandia, Kazimierz Dabrowski pada tahun 1960-an.

Ahli jiwa tersebut menjelaskan OE adalah interaksi intens berlebihan terhadap lingkungan, baik berupa ancaman, sindiran atau hinaan. Dapat berupa percakapan intens atau adu argumen panas dengan seseorang.

Menurut Karpinski, OE bisa menyebabkan kekhawatiran berlebihan, overthinking, hingga menyebabkan stress.

Sebagai contoh, seseorang dengan otak cerdas akan mengalami overthinking jika mendapatkan komentar dari teman kerjanya.

Orang tersebut akan terus kepikiran mengapa komentar itu dilontarkan, apa yang salah dari dirinya, apa yang harus diperbaiki atau dibenahi, serta menganalisis semuanya hingga menyebabkan kekhawatiran dan ketakutan. Sedangkan bagi orang yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sangat jarang terjadi.

Timbulnya stres disebabkan reaksi berlebihan dari overthinking yang akan menyeretnya ke dalam gangguan psikologis tertentu.

Namun demikian, peneliti menyebutkan bahwa kelemahan gangguan psikologis tidak berkaitan langsung dengan kondisi otak yang terlalu banyak menganalisa.

Bisa saja, kecenderungan suka menyendiri daripada bersosialisasi yang menjadi pemicu dari gangguan psikologis tersebut.

Untuk menafsirkan hasil penelitian ini harus berhati-hati karena sifatnya korelasional. Tidak dapat dibuktikan jika penyebab gangguan adalah kecerdasan tinggi karena sampel hanya diambil dari komunitas Mensa tidak pada orang-orang pada umumnya.

Bisa saja, orang-orang yang ada di Mensa berbeda dengan orang lain dalam hal selain IQ.

Dari sudut pandang praktis, penelitian ini pada akhirnya dapat mengarah pada wawasan tentang bagaimana meningkatkan kesejahteraan psikologis dan fisik orang. 

Jika overexcitability menjadi mekanisme yang mendasari hubungan IQ-kesehatan, maka intervensi yang ditujukan untuk membatasi respons yang terkadang maladaptif ini dapat membantu orang menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat.***

Editor: Andi Asoka Ulfa


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah